Mewujudkan Pendidikan Yang Bebas Korupsi



Korupsi dewasa ini menjelma suatu penyakit sosial yang amat sulit dihentikan. Seolah menjadi keniscayaan, di mana terdapat suatu kekuasaan di sana pula terdapat celah untuk terjadinya salah satu tindak white collar crime ini. Sempalan dalil “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” dari Lord Action tampaknya paling cocok untuk menggambarkan kondisi tersebut. Pemisahan kewenangan ataupun kekuasaan seperti teori Trias Politica milik Montesquieu, diharapkan dapat mencegah corrupt absolutely yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan. Namun kenyataannya berbanding terbalik. Banyak oknum pemegang kekuasaan yang masih bandel justru melakukan tindak-tindak korupsi di berbagai bidang atau jenis kekuasaan tersebut.

Pemerintah di era Presiden Joko Widodo tengah berakselerasi untuk menekan angka korupsi dengan melakukan perbaikan di sektor izin usaha, menekan praktik pungli, dan lain sebagainya. Namun, hal ini nyatanya belum mampu memberi dampak signifikan meskipun secara keseluruhan memang corruption perception index Indonesia semakin meningkat beberapa tahun ini. Indonesia sendiri justru malah mengalami penurunan sebanyak 2 peringkat ke posisi 90 negara terkorup sedunia menurut data yang disusun oleh Badan Transparansi Internasional.

Korupsi di Indonesia saat ini telah menjalar di berbagai sektor. Dari pemerintahan pusat, pemerintahan daerah, hingga ke sektor pendidikan yang di dalamnya terdapat lembaga-lembaga yang menjamin kualitas sumber daya manusia. Sebagai sektor penting bagi kemajuan bangsa, pendidikan memiliki tujuan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tidak hanya untuk meningkatkan kualitas intelektual saja, melainkan juga kualitas akhlak seseorang sehingga terbentuk dan tertanamnya karakter bangsa dalam diri orang tersebut. Karakter ini adalah sebuah benteng bagi seseorang agar menjadi seorang good and smart citizen yang mampu mengamalkan civic virtue dengan baik. Hal tersebut merupakan salah satu instrumen dalam mewujudkan kehidupan negara yang bebas dari korupsi sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan reformasi. Namun, suatu ironi yang amat menggelitik terjadi, ketika realitas fakta di lapangan justru menunjukkan bahwa sektor pendidikan adalah salah satu sektor yang mendulang jumlah kasus korupsi cukup besar di Indonesia.


Korupsi di Dunia Pendidikan
Perilaku korupsi dalam dunia pendidikan melibatkan hampir semua lembaga, dari pembuat kebijakan hingga institusi pendidikan seperti sekolah maupun perguruan tinggi. Menurut data yang dihimpun oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak tahun 2005 hingga 2016 lalu terdapat sekitar 425 kasus korupsi di mana 214 kasus terjadi di dinas pendidikan. Hal ini menyebabkan kerugian negara hingga Rp 1,3 triliun, hasil tindak penggelapan dana, penggelembungan anggaran, suap, serta gratifikasi beberapa objek seperti Dana Alokasi Khusus (DAK), sarana prasarana sekolah, Bantuan Operasional Siswa (BOS), hingga infrastruktur sekolah dan dana buku.

Analogi gunung es Freud tentang kepribadian seseorang rasanya cocok juga untuk menggambarkan fenomena korupsi ini. Banyaknya kasus korupsi yang terkuak dalam data di atas, diibaratkan besarnya permukaan gunung es yang terlihat. Sementara yang terbenam dan tidak terlihat oleh mata telanjang akan sangat lebih besar dari permukaan tersebut. Dalam praktiknya misalkan, masih banyak tindakan pungli yang tak jarang kita temui di sekolah. Alih-alih sebagai cara alternatif menunjang kebutuhan sekolah, dana hasil pungli tersebut dapat saja disalah gunakan untuk menunjang dana cicilan rumah dan mobil masing-masing pejabat sekolah.

Meski UU no. 20 tahun 2003 dan PP no. 66 tahun 2010 sama-sama menyatakan bahwa sekolah tidak diperbolehkan memungut dana kepada siswa sebab anggaran penyelenggaraan satuan pendidikan ditanggung oleh pemerintah dan pemerintah daerah, masih saja ada beberapa sekolah yang melakukan pungutan dengan embel-embel penggalangan bantuan dana dan sumber daya pendidikan kepada masyarakat yang dalam Permendikbud no. 75 tahun 2016 memang diperbolehkan.

Dikeluarkannya Permendikbud tersebut menuai pro-kontra di kalangan masyarakat. Mereka yang mendukung peraturan tersebut beralasan bahwa adanya sumbangan dari masyarakat dapat membantu pelaksanaan pendidikan agar lebih optimal, mengingat dana bantuan operasional sekolah yang dianggarkan khusus oleh pemerintah masih dinilai kurang dapat memenuhi segala kebutuhan di setiap sekolah. Selain itu dengan adanya penggalangan sumbangan ini, diharapkan dapat meningkatkan daya filantropi masyarakat.

Namun, tidak sedikit juga yang menolak adanya kebijakan tersebut. Bukannya pelit atau tidak mau menyumbang, bukan juga berniat suudzon atau tidak percaya ke pihak sekolah, tapi melihat rahasia umum yang sering kali terjadi di beberapa sekolah yang menggalang dana pembangunan sarana dan prasarana, dari tahun ke tahun belum ada bukti yang kuat baik secara fisik atau data agar mengembalikan kepercayaan orang tua untuk ikut berpartisipasi membangun sekolah. Apalagi tidak sedikit terjadi praktik rutin akhir semesteran dimana sekolah meminta sumbangan dana dari orang tua seikhlasnya, asal diatas jumlah minimal yang ditetapkan.

Adanya tindak korupsi, baik pungli atau pengelolaan anggaran pendidikan lainnya menurut Laporan  Pemantauan Lapangan Dana Pendidikan yang dibuat KPK tahun 2014 silam, berakar dari lemahnya pengendalian internal, lemahnya sistem administrasi, adanya  kekosongan pengawasan, serta lemahnya kontrol publik atau kontrol sosial. Berangkat dari masalah tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, pada Hari Pendidikan Nasional tahun 2017  lalu menyatakan kesiapannya dalam mereformasikan pendidikan, baik dalam tataran konseptual maupun manajerial yang terfokuskan pada pembentukan karakter sebagai pondasi pendidikan Indonesia. Dalam mendukung terlaksananya reformasi pendidikan tersebut, sekiranya ada beberapa hal yang mesti dilakukan sehingga dapat terwujud pendidikan yang bebas korupsi.

Membentuk Karakter Melalui Pendidikan Anti-Korupsi
John Adam Smith, seorang filsuf pelopor ilmu ekonomi modern menyebut manusia sebagai homo economicus atau makhluk yang cenderung tidak pernah merasa puas dengan apa yang diperolehnya, sehingga selalu berusaha secara terus menerus dalam memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan primer, sekunder, atau tersier. Dengan kecenderungan tersebut, tidak jarang manusia menghalalkan berbagai cara, bahkan yang bertentangan dengan norma sekalipun. Dalam kriminologi, terdapat teori selain social-control untuk menghindari seseorang agar tidak melakukan perbuatan yang buruk, yakni self-control theory. Kejahatan dapat dicegah oleh diri sendiri apabila telah tertanamnya karakter dalam diri tersebut melalui pengetahuan dan pendidikan.

Atas dasar tersebut pendidikan anti-korupsi perlu  dimasukan ke dalam kurikulum pendidikan, sebagai upaya membentuk karakter dan budaya anti-korupsi, meskipun hanya dalam hidden curriculum saja. Penekanan pendidikan anti-korupsi ini seharusnya tidak hanya pada sisi koginitif melalui cara konvensional, sebab dikhawatirkan peserta didik akan fasih memaparkan nilai-nilai anti-korupsi, tetapi gagap dalam penerapannya. Maka dari itu harus ditekankan juga dalam tataran psikomotoriknya, salah satunya dengan memberikan model pada lingkungan sekolah, misalnya dengan membentuk kantin kejujuran.

Banishing Bureaucracy
Overweight bureaucracy bisa jadi suatu bureauphathology klasik di Indonesia. Birokasi yang gemuk dan berbelit menjadi masalah pelik, sebab masyarakat sendiri cenderung ingin yang sederhana dan serba instant. Hal tersebut menjadi celah melakukan pungutan liar sebagai pelicin agar segala urusan yang melibatkan birokrasi tersebut dapat selesai dengan cepat. Selain itu, penumpukan pegawai dengan tugas dan fungsi yang kadang tidak jelas nan ambigu menimbulkan pembengkakan birokasi yang dapat menghalang pengembangan akuntabilitas pemerintahan, sehingga pengawasan dan pengendalian sulit dilakukan.

Robbins mengemukakan semakin besar organisasi berbanding terbalik dengan tingkat efektivitasnya. Maka dari itu perlu diterapkan prinsip small is beautiful, dengan menciptakan lembaga yang miskin struktur namun kaya fungsi. Untuk mewujudkannya diperlukan proses restrukturisasi dan perampingan dengan cara banishing bureaucracy. Pemerintah sendiri telah mengambil langkah alternatif untuk menyikapi masalah ini, dengan moratorium (zero growth) melalui kebijakan tentang perekrutan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) da kebijakan tentang Penundaan Sementara Penerimaan CPNS. Selain itu dipandang perlu adanya pemangkasan struktur yang boros dan tidak efektif, mempensiunkan dini PNS yang tidak produktif, serta reposisi jabatan birokrasi.
 
 
Menerapkan Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas
Pasal 48 UU no. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa pengelolaan dana pendidikan harus berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Hal tersebut diperlukan sebab tindak korupsi dapat terjadi salah satunya karena lemahnya pengawasan. Dengan diterapkannya prinsip transparansi dan akuntabilitas dipandang dapat mencegah tindak korupsi.
Penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam dunia pendidikan dapat dimulai dengan penyusunan RAPBS yang sehat dan terbuka dengan melibatkan partisipasi dari guru, wali murid, dan unsur masyarakat. Keeksklusifan penyusunan RAPBS oleh kepala sekolah dapat membuka peluang penyalahgunaan anggaran dana pendidikan.

Selain itu harus ada pelaporan pengelolaan anggaran sekolah yang dapat diakses oleh berbagai pihak setiap periode waktu tertentu. Selama ini pelaporan dilakukan hanya setahun sekali, dan data yang dilaporkan pun tidak terlalu detail. Maka dari itu diperlukan suatu sistem informasi anggaran sekolah, yang dapat diakses oleh setiap masyarakat khususnya wali murid, di mana dalam sistem informasi tersebut dimuat informasi mengenai RAPBS, data pemasukan dana sekolah, serta data pengeluaran dana sekolah pada setiap bulannya. Informasi tersebut dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengawasi pengelolaan anggaran sekolah, sehingga sedikit demi sedikit menutup celah peluang terjadinya korupsi di dunia pendidikan.

Meningkatkan Social Control Masyarakat
Selain tindakan preventif dan represif oleh pemerintah, salah satu kunci memberantas tindak korupsi adalah partisipasi publik. Terjadinya korupsi di dunia pendidikan sebagian besar disebabkan karena tidak berjalannya mekanisme kontrol yang baik terhadap penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu diperlukan peran penting masyarakat umum khususnya wali murid dalam memberikan aspirasi dan partisipasinya yang dihimpun oleh komite sekolah dalam mengawasi pengelolaan sekolah.

Selain melalui komite sekolah, partisipasi masyarakat dapat juga diwadahi melalui social movement yang fokus dalam public advocation terhadap pelanggaran-pelanggaran yang ditemukan di sekolah. Seperti yang telah dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY), Persatuan Orang Tua Peduli Pendidikan (Sarang Lidi), dan lemabaga swadaya masyarakat lain sebagainya yang secara militan memberantas praktik korupsi dan pungli di sekolah-sekolah. Di samping itu, pemerintah juga perlu menyiapkan media aduan seperti Whistle Blowing System di setiap lembaga pendidikan, agar masyarakat yang menemukan tindakan yang menyimpang dapat langsung melaporkannya.

----------
Oleh:
Bakhtiar Rosadi
Mahasiswa S1 Departemen Pendidikan Kewarganegaraan
Universitas Pendidikan Indonesia

Comments

Popular posts from this blog

Magang Punya Kenangan

Kampanye Hitam, atau Adu Domba Para Idiot?

Kemungkinan Yang Tidak Memungkinkan