Pertem(p)u(r)an Dengan Tuhan
Sewaktu kecil,
dengan suka hati saya menerka Tuhan dan bertanya, “apa Tuhan seperti saya?”
Setelah
dewasa, sesuka hati saya menerka diri dan bertanya, “apa saya seperti Tuhan?”
Pertanyaan itu agak berat, dan beberapa waktu ini terus memenuhi kepala
saya. Lebih berat dari kebingungan akan masa depan, dan bayangan senyum seseorang
yang akhir-akhir ini juga tak pernah lepas dalam pikiran. Saya butuh waktu
untuk menjawabnya, membuka berbagai buku atau beberapa catatan daring yang
tersedia dengan bebas. Setidaknya untuk berpikir sedikit tenang, di tengah
situasi otak yang selalu hiruk pikuk mengurusi banyak hal; judul skripsi, tugas
mata kuliah, rindu mamah, dan tentu juga segala tentang perempuan bercahaya
bulan yang selalu hadir dalam lamunan. Haha! Kepala saya menjelma kantor yang
paling sibuk di dunia!
Sebelumnya, saya pikir pikiran ini hanya akan memuat tentang kesibukan
dunia, cinta, atau cara bagaimana menuangkan kekaguman saya pada segala hal
dari perempuan itu pada sebaris dua baris puisi picisan, atau sekedar mencari
perhatiannya. Namun ternyata, ada hal yang lebih serius dari itu; Tuhan. Saya
terkejut awalnya, tapi menarik juga membicarakan soal Tuhan.
Ada yang diam-diam mengalir dalam aorta saya. Entah apa, sangat immaterial,
tapi sanggup membuat dada sesak. Jika boleh, saya sebut sesuatu yang
“spiritual”. Itu bermula ketika saya mengingat pernahkan saya mengalami
detik-detik Tuhan sengaja mendatangi saya, atau pernahkah saya berusaha
mendatangkan Tuhan dalam diri saya?
Saya tak yakin benar. Saya akui, saya memiliki iman yang fluktuatif. Suatu
waktu saya bisa merasakan Tuhan begitu dekat, di waktu lain jarak terasa sangat
jauh. Tapi saya rasa, setiap kali saya semakin berjarak dengannya, setiap kali
saya bermain terlalu jauh dari “rumah”, setiap kali itu juga saya merasakan
momen spiritual. Momen tersebut yang selalu menegur saya untuk segera pulang,
mengingatkan kalau saya telah bermain terlalu jauh dan bisa sekali tak ingat
jalan pulang. Lalu saya merasa tersentak, dan segera pulang. Dada saya sesak.
Ketika sampai di halaman rumah, saya ambil kitab suci, berdoa dan berjanji,
tidak akan main terlalu jauh dari rumah lagi.
Namun, saya hanya seorang anak kecil yang memiliki banyak tanda tanya,
penasaran, yang setiap melihat hal-hal tak biasa melewat di halaman rumah akan
berlari mengikutinya. Seperti mengejar tukang balon, es krim, siapa pun, sampai
lupa pada janji tadi. Berlari riang tak memikirkan apa-apa kecuali balon gas
berwarna seramai bianglala, es krim semanis perempuan itu, tunggu, sepertinya
senyum perempuan penyuka senja itu yang semanis eskrim. Ah lebih manis lagi!
Laut sungai memang sering lupa jalan pulang. Saat saya menggenggam
balon-balon terikat dengan mulut yang penuh es krim, belepotan sampai ke baju,
saya baru sadar berada di tempat yang belum pernah saya jamah, sangat jauh dari
rumah.
Itu momen spiritual saya, ketika berusaha mengembalikan ingatan tentang
rumah, tentang jalan pulang, tentang “alastu birabbikumi?” kata Tuhan, “bala
syahidna”, saya jawab. Sebuah percakapan penuh janji, saya tak akan bermain
terlalu jauh dari rumah lagi. Pada saat tersendiri mengembalikan
ingatan-ingatan tesebut, saya memanggil Tuhan sambil menangis, seperti anak
kecil. Momen tesebut selalu terulang; berusaha kembali pulang dan pergi jauh
sampai lupa jalan pulang.
Pertanyaan saya, mengapa setiap orang memiliki pandangan yang berbeda
tentang Tuhan mereka? Mengapa Tuhan selalu “tercipta” dalam imaji setiap orang
secara berbeda? Orang lain mungkin menganggap Tuhan sebagai “teman yang selalu
dekat”, yang lainnya ada yang menanggap Tuhan sebagai “zat penghukum yang
itung-itungan”, lainnya lagi menganggap Tuhan sebagai “yang maha pengasih dan
maha penyayang”, atau ada juga yang menganggap “Tuhan sudah mati”.
Apa kita termasuk para “pencitra Tuhan”? Lalu bagaimana maksud “Aku
adalah apa yang kau prasangkakan kepada-Ku”? Apa berarti Tuhan tak memiliki
identitas dan harus kita yang menkonstruksi identitasnya dalam masing-masing
kepala kita? Apa Tuhan seperti saya? Atau saya seperti Tuhan?
Ah, cukup. Pertanyaan ini semakin membuat saya bingung. Lebih bingung dari pertanyaan-pertanyaan
apakah perempuan itu mau dengan saya atau tidak? Kalau tidak, bagaimana cara
agar dia mau? Haha, cukup. Mu’azin tua yang sedari pukul 4 pagi tadi
bangun dan membangunkan orang-orang yang tersesat dalam mimpi, sudah
kembali mengingatkan saya untuk tidak bermain terlalu jauh dan segera pulang.
Semoga saja saya tidak lupa jalan pulang. Hayya alal falaah, katanya.
Laa ilaaha illa Anta, subhaanaka innii kuntu
minadzhaalimiin.. Iktashamtu billaah, fawhattu amri billaah.. Laa hawla walaa
quwwata illa billaah..
suka banget...
ReplyDelete