Bahagia


Nona, seseorang pernah ditanya mengenai makna kebahagiaan. “Kebahagiaan itu tawa,” katanya. Namun, pada suatu pagi ia temukan dirinya tertawa sendiri, saat istri yang ia nikahi selama lebih dari belasan tahun dikuburkan kemarin, ia merasakannya sebagai tawa yang paling menyedihkan sepanjang hidup. Sebuah tawa yang sepi. Tawa yang lirih. “Kebahagiaan adalah kebersamaan”, katanya getir.


“Kebahagiaan adalah menemukan sepasang tangan yang siap mendekap ketika kesedihan memeluk hatimu, menemukan bahu yang nyaman untuk bersandar dan sepasang telinga untuk mendengar, tempat tertabah untuk merebahkan kesah dan lelah. Dan kesedian adalah saat kamu harus tertawa sendirian.”

Kalimat itu mungkin benar, nona. Mungkin juga tidak. Kebahagiaan sangat tergantung bagaimana kita berhasil memberikan makna terhadap sesuatu. Meneguk segelas air es di tengah padang gurun mungkin saja kebahagiaan, tetapi tidak di malam Desember penghujan di jalanan kota-kota daratan Antartika. Memiliki banyak uang mungkin saja kebahagiaan saat kita baru saja keluar dari lubang jarum kemiskinan, tetapi tidak bagi mereka yang tak lagi memiliki banyak pilihan untuk menghabiskan tumpukan uang itu. Kebahagiaan adalah suatu kekhasan pada diri dan kehidupan setiap orang. Kebahagiaan itu nisbi.

Mungkin suatu situasi yang menentukan makna dari pada kebahagiaan itu, mungkin juga suatu kehadiran akan seseorang yang lain, mungkin penantian yang panjang, mungkin suatu perpisahan, atau mungkin justru kemungkinan itu sendiri.

“Kebahagiaan adalah menemukan diri menjadi makna di mata orang lain” begitu kata orang bijak. Ketika kita menolong, bersedekah, ketika kita didatangi seseorang untuk diminta bantuan, ketika kita ditunggu dan dirindukan, ketika orang-orang terdekatmu menangis atas sesuatu yang membuat kita bahagia atau  melihat tubuh kaku kita dimasukkan ke liang lahat, kita tentunya bahagia. Tentu juga kebahagiaan tidak akan berlaku bila kita menjadi orang jahat, bila kehadiran kita justru disesalkan seseorang dan sama sekali tidak diharapkan ada di sekitar pandangannya, bila orang-orang terdekat kita, yang ada di sekeliling kita tidak peduli pada apa pun yang kita lakukan.

“Kapan pulang, nak? Jaga kesehatan di sana, kalau sibuk sempatkan waktu buat istirahat” kata seorang ibu menahan tangis dari balik telepon ketika menghubungi anaknya di luar kota. Si anak ikut menangis. Tidak semua air mata bermakna sedih yang perih. Air matanya itu kebahagiaan, bahwa jauh di sana, ada seorang perempuan hampir baya yang sangat menyayanginya sedang menantikan kepulangannya sambil khawatir. Si ibu menangis, tapi tangis itu sejatinya kebahagiaan, ketika mendapati kabar anaknya baik-baik saja dan menyelipkan segumam doa untuknya. “Ibu juga yang sehat, ya.. Aku baik-baik saja di sini. Nanti bulan depan aku pulang. Maaf selalu membuat ibu khawatir.”

Nona, kebahagiaan tak semakna dengan uang, atau harta lainnya. Kita mungkin tak memilikinya, tetapi kita dapat memiliki kebahagiaan. Kebahagiaan memiliki makna tersendiri yang khas. Setiap orang memiliki kebahagiaannya sendiri. Kebahagiaan dapat menjelma apapun, nona. Seperti menjadi tawa yang tercipta ketika kita berkumpul dengan teman-teman kita, pun juga menjadi senyum yang kesepian melengkung ketika mendapati satu persatu teman-teman kita mulai menghilang akibat kesibukan mencari jati dirinya. Menjelma jiwa dan raga yang rela letih dihujam berbagai kesibukan, kepala dan hati yang berusaha mati-matian untuk lari dari kejamnya kesepian.

Nona, ketika kamu bertanya apa makna kebahagiaan bagi saya, saat ini kebahagiaan adalah mendapatimu tersenyum karena kehadiran saya. Mengetahui ketika saya merindukan kamu, kamu pun sama. Menyadari bahwa saya tidak sedang merawat rasa sendirian, tapi juga bersamamu. Kebahagiaan saya temukan saat saya melihat matamu sambil berkata tulus “terima kasih”. Dan ketika kau tersenyum saat saya mengajukan “maaf”. Kebahagiaan adalah ketika saya merasa jadi orang pertama yang kau tuju saat ada apapun itu. Kebahagiaan adalah menukar segala kesedihanmu dengan kebahagiaan saya, menjadikan kamu cahaya bulan purnama, meski saya gelap abadi yang tak menuntut apa-apa.

Nona, kebahagiaan yang paripurna adalah saat saya mampu melihat kamu berbahagia, meski bukan saya yang membahagiakanmu, meski tak pernah ada kita. Kali ini, saya harap kebahagiaan adalah kamu.

Tapi nona, mengapa berbahagia bila kesedihan lebih manusia?


Comments

Popular posts from this blog

Magang Punya Kenangan

Kampanye Hitam, atau Adu Domba Para Idiot?

Kemungkinan Yang Tidak Memungkinkan