Menjadi Kecebong Sombong dan Unta Keras Kepala

Beberapa hari lalu saya mengalami fenomena yang sering kali melanda mahasiswa atau pengangguran di sela waktu luangnya, gabut. Walaupun tidak benar-benar memakan gaji buta karena tidak digaji, saya merasa bosan tidak melakukan apa-apa. Daripada tidur, hasrat kegabutan mendorong saya berselancar di media sosial. Melihat-lihat foto instagram perempuan yang akhir-akhir ini sering mengunjungi kepala saya, menyaksikan perang kicauan di twitter, membaca shitpost meme di facebook dan line, atau sekedar menonton video-video trending di youtube. Sampai saya menemukan video tentang tindakan intimidatif oknum sebuah kelompok pada anggota dari kelompok lain, yang tengah viral di media sosial. Tentang seorang bapak, dan ibu beserta anaknya di acara Car Free Day, mengenakan kaus mendukung presiden dengan tagar #DiaSibukKerja, diperlakukan secara kurang manusiawi oleh sejumlah orang dari kubu yang sedang menyampaikan aspirasi politiknya dengan kaus bertagar #2019GantiPresiden.

Saya tidak menyoal dua tagar, peduli setan pada gerakan politik tersebut. Yang saya sesalkan adalah peristiwa memalukan yang terjadi di dalamnya, khususnya yang kebetulan tertangkap lensa kamera. Kubu yang merasa diintimidasai dan dipresekusi angkat geram dan menyerapah, kubu yang dikecam buru-buru membuat penjelasan berdasar teori konspirasi bahwa kejadian itu hanya buatan belaka. Beradu tak sudah-sudah.

Tak masalah jika kalian memperdebatkan mana yang kebenarannya paling sahih dan valid. Tak masalah pula kalian saling menuduh dan merugikan. Tapi, apa sudah tidak ada ruang dalam diri kita untuk mempersoalkannya secara lebih arif? Ada kemungkinan kesalahan dari mereka yang berasal dari kelompok yang sama dengan kita. Ada ruang kebenaran dari pihak yang bersebrangan. Kita menjelma sekumpulan orang buta yang berdebat mendefinisikan gajah padahal semua dari kita sedang memegang tubuh gajah yang sama –hanya saja pada bagian yang berbeda.

Logika kita cacat ketika menggeneralisasikan sebuah himpunan besar dari kesalahan yang dilakukan unit kecil yang menjadi bagian dari himpunan tersebut. Keberatan terhadap perilaku kasar dan arogan yang dilakukan oknum dengan kaus #2019GantiPresiden tidak sama dengan keberatan terhadap gerakan berbasis tagar itu secara keseluruhan. Namun, masih ingat dengan pepatah “karena nila setitik rusak susu sebelanga”?

Yang saya sesalkan dari pertarungan politik macam ini adalah sikap kepala batu dan ingin menang sendiri, tidak mau menerima kebenaran orang lain. Baik pertarungan politik nasional, bahkan sekelas di organisasi lingkup kemahasiswaan. Rasa jumawa yang menyimpulkan kita yang paling benar, dan mereka itu salah. Sikap yang melayakan kita memperlakyukan orang lain tidak sebagai manusia; mendehumanisasi mereka dengan sebutan atau kata-kata yang bukan untuk manusia.

Kecebong vs Unta
“Dasar Unta!” umpat seseorang yang terlebih diteriaki kecebong oleh sekelompok orang. Dalam konteks perdebatan politik yang tetap panas sejak 2014 lalu, diperparah dengan berbagai peristiwa politik sesudahnya, juga melalui media sosial yang memungkinkan dendam dan pertengkaran politik jangka panjang, istilah kecebong dipakai sebagai sebutan kelompok yang mendukung Presiden Jokowi. Sementara kubu menyebut kubu penentangnya dengan nama binatang lain seperti unta.



Ada yang menyedihkan, perbedaan politik mengubah kita menjadi individu yang tega mendehumanisasi orang lain. David Livingstone, dalam bukunya Less than Human: Why We Deman, Enslave, and Exterminate Others menjelaskan bahwa cara kita menghina pihak lain dengan sebutan binatang adalah ekspresi alam bawah sadar kita untuk mempertahankan diri dan kelompok dengan menganggap bahwa pihak lain bukanlah manusia, bahkan binatang. Sejak zaman purba otak manusia terprogram untuk melakukan hal ini, sebagaimana teori hierarki kosmik Plato dan Aristoteles, ketika manusia masih berusaha bertahan hidup melawan binatang.

Dalam sejarah kita kita diperlihatkan pula bagaimana peperangan dan konflik politik menjerumuskan manusia pada sikap mental seperti ini. Zaman Mesir Kuno, para Firaun menganggap semua bangsa yang ditaklukannya memiliki kasta lebih rendah dari manusia, dan konon menjadi cikal bakal umpatan anjing kepada manusia yang kita anggap rendah atau ingin merendahkannya.

Kemudian Nazi ketika berkuasa di Jerman jelas mengkelas-kelas manusia, dengan menganggap bangsa Arya sebagai bangsa tertinggi, sementara yang lainnya bahkan Yahudi dianggap dan disebut sebagai tikus yang layak dimusnahkan. Sama seperti  yang terjadi di Rwanda tahun 1994, setelah pecahnya konflik antara suku Hutu dan Tutsi, di mana Hutu yang lebih kuat dan berkuasa kala itu menganggap dan menyebut Tutsi sebagai kecoa yang perlu dibunuh dan dibantai.

Mereka Tetap Manusia
Sikap mendehumanisasi pihak lain yang bersebrangan sedang menjadi gejala di Indonesia hari ini. Sebutan kecebong-unta, ditambah hinaan anjing babi dan umpatan seperti bani daster-bani serbet, kaum bumi datar, berasosiasi pada cara kita menempatkan seseorang di level terendah dari hierarki kemanusiaan.

Dalam teori konflik, hinaan tersebut berfungsi sebagai eskalator konflik, penajam konflik antar kubu. Yang saya takutkan situasi semacam ini akan melebar dan meningkat. Melebihi Rwanda, atau Rohingya. Suku Rohingya pun disebut kera hitam oleh orang Myanmar, sampai sikap mental mereka merasa sah menindas dan membunuh antar sesama. Kehilangan kemanusiaan.

Bangsa kita akan menjadi bangsa yang tidak dewasa. Kedua pihak sama saja. Sama-sama saling merasa paling benar. Saling ingin merendahkan. Dalam pola pengkubuan saat ini, saya melihat yang disebut kecebong adalah kelompok yang maha sombong; merasa paling benar, paling pintar, paling toleran. Yang disebut unta juga keras kepala; merasa paling religius, paling suci, paling baik.

Saat ini kita terjebak. Jika ada dua sisi koin, akan sulit untuk menjadi koin yang tertahan di udara ketika koin itu dilempar. Akan sulit untuk menjadi individu yang berada di ruang antara, yang berdaulat dengan diri sendiri, tak memihak benar-salah agar tidak dijauhi kerumunan manapun.

Akan sulit untuk mengapresiasi kebaikan presiden secara terbuka, otomatis kita dicap pendukung fanatiknya. Akan sulit untuk mengkritik kesalahan presiden secara keras dan terbuta, otomatis kita disebut penentangnya yang buta. Akan sulit untuk  menjadi manusia yang merdeka, yang berdaulat atas pikirannya sendiri.

Akan sulit menjadi manusia yang mulia dengan segala nilai kemanusiaannya, untuk tidak menjadi kecebong sombong dan unta keras kepala.

Comments

Popular posts from this blog

Magang Punya Kenangan

Kampanye Hitam, atau Adu Domba Para Idiot?

Kemungkinan Yang Tidak Memungkinkan