Mabuk

"Kamu tahu, kenapa saya dibiarkan Tuhan untuk terus berada di sisi gelap dan berbuat jahat?"

Pertanyaan si Setan mengacaukan lamunan saya. Lamunan itu adalah saat tengah malam, yang jalanan di luar rumah saya menjadi basah akibat hujan dari sore hari, dan saya tidak bisa tidur karna ada yang berisik. Sepertinya dari dalam kepala.

"Saya tidak pernah mengenal Tuhan sebaik kamu mengenal-Nya," saya jawab pendek, karna saya benar-benar tidak tahu jawabannya dan benar-benar sedang tidak ingin main tebak-tebakan.

"Karena saya diberkati usia tanpa masa kadaluarsa, saya abadi!" Ia menjawab sambil tersenyum, sinis.

Saya coba memahami. "Bukannya itu adalah hukuman?

"Kamu boleh saja menganggap itu sebagai hukuman, atau kutukan dari Tuhan untuk saya. Terserah kamu. Tapi bagi saya, sebenarnya ini adalah keberuntungan. Kamu tahu, saya perlu merayu saat bernegosiasi agar Tuhan memberikan saya hidup, yang setiap detiknya menjadi hak saya, yang boleh saya gunakan sesuka hati. Sementara hidup kalian, setiap detiknya hanya sebuah hadiah." Si Setan tertawa di ujung kalimatnya. Tertawa yang apabila kamu mendengarnya akan membuat kepalamu pening. Tertawa yang apabila kamu mendengarnya itu seperti terkekeh penuh rasa jumawa. Tertawa yang mungkin saya, dan mungkin kamu juga ingin lakukan, tapi tidak bisa, karna tidak tahu kenapa.

"Saya tidak mengerti," jawab saya sambil mengerutkan dahi.

Lagi, si Setan tertawa. "Bagaimana bisa makhluk polos seperti kamu dan manusia lainnya diberikan predikat sebagai 'makhluk paling sempurna'? Sebuah predikat yang dengan itu kamu menjadi makhluk yang sombong, melebihi kesombongan saya. Sebuah predikat yang kamu dapatkan hanya karena memiliki sebuah 'akal', yang sering sekali tidak lagi kamu gunakan untuk menghidupi hidup dan menyerap cahaya Tuhan. Masihkah kamu merasa menjadi makhluk yang sempurna?"

"Saya masih tidak mengerti." Kepala saya menjadi pening. Saya pikir mungkin karena racauan si Setan yang mabuk dan berisik ini.

"Hidupmu hanya hadiah. Meski Tuhan berbaik hati, kamu tetap berhutang budi untuk mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sementara saya meminta hak untuk hidup selamanya, dan Tuhan memberikannya, dan ini bukan sebuah hutang yang saya perlu bayar. Saya hidup dengan terus berada di sisi gelap, karena itu sudah sesuai dengan tugas yang ditetapkan untuk saya; sama seperti para Malaikat yang bertugas untuk setia merawat cahaya, selamanya."

Saya terdiam. Kepala saya makin pening.

"Kalau kamu terus dengan asyiknya melakukan keburukan seperti apa yang saya bisikkan, bukannya itu berarti kamu menyia-nyiakan akal yang diberikan Tuhan untuk memilah sesuatu yang baik dan yang buruk? Hahaha! Tidak menjadi masalah apabila saya terus-menerus berbuat buruk, itu adalah karena saya abadi, seperti waktu. Saya tidak perlu khawatir terhadap apapun, itu adalah karena segala dari saya sudah pasti. Sementara, waktu bagimu, adalah sesuatu hal yang sementara. Segala dari kamu belum pasti. Kenapa kamu tidak bersegera membayar hutang budimu pada Tuhan? Kenapa Tuhan begitu baik memberikan hadiah hidup pada manusia, meski mereka lebih senang untuk menyia-nyiakannya?"

"Kamu pasti sedang mabuk!" Saya berteriak pada si Setan. Tetapi saya mengherani diri saya sendiri karena pening di kepala saya semakin menjadi, dan ada mual yang mendesak dari dalam perut.

"Tidak! Hahaha!" Si Setan menjawab dengan tertawa. "Sepanjang hidupmu, kamu yang mabuk!"

Apa yang si Setan katakan sepertinya benar. Tapi bukannya selalu dikisahkan bahwa Setan dan teman-temannya itu penuh tipu daya? Apa saya harus percaya pada kata-katanya?

"Bagaimana kalau besok kamu mati, sementara sekarang kamu masih meragukan apa yang saya katakan ini dapat dipercaya atau hanya tipu daya? Hahaha!" kata si Setan. Ia masih tertawa. "Baiklah. Kalau usia yang dihadiahkan padamu memiliki masa kadaluarsa, dan besok adalah batas waktunya, buatlah daftar apa saja yang sudah dan belum kamu lakukan dalam hidupmu. Bayarlah hutang budimu pada Tuhan!"

Saya tersentak. Dalam diam, mulai bermunculan ingatan-ingatan tentang apa yang sudah saya terima sepanjang saya hidup, baik yang saya minta dan juga tidak. Ah, Tuhan selalu ada dan baik pada saya, sementara saya dengan tidak tahu malu selalu lalai untuk berterima kasih. Apalagi membalasnya. Nikmat Tuhan yang manakah yang saya dustakan? Mungkin semuanya!

Kepala saya makin pening. Itu adalah pening yang membuat kesadaran saya mulai kabur, dengan mata yang tatapannya limbung, dan ada mual yang mendesak-desak dari perut.

"Apa yang harus saya lakukan?" tanya saya dengan bingung, seperti sama bingungnya dengan mengapa saya justru meminta pendapat si Setan.

"Saya tidak tahu," kata si Setan, "yang pasti hari ini saya ingin bersenang-senang. Saya rasa saya tidak perlu menggodamu lagi untuk bergabung atau tidak. Hahaha!"

Si Setan pergi sambil tertawa. Sementara di ujung mabuk yang puncak, saya semakin muak pada diri saya sendiri. Saya ingin muntah!


each day is a gift, and not a given right



Comments

Popular posts from this blog

Magang Punya Kenangan

Kampanye Hitam, atau Adu Domba Para Idiot?

Kemungkinan Yang Tidak Memungkinkan